Semua orang pernah patah hati; yang membedakannya adalah bagaimana kejadian itu mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Begitulah kira-kira inti dari Pelit (Yup, it's an abrevation from PErsonal LITerature) Raditya Dika terbaru: KOALA KUMAL. Gue memang tidak seperti abege abege kekinian, yang kemarin ikutan mengantri di Gramed Matraman untuk secara perdana memiliki buku ini beserta tanda tangan sang penulis. Karena 1) gue udah tua (Fuckin' 23..) dan 2) Kumis dan Jenggot gue terlalu garang untuk membeli buku ini. Bahkan tadi gue sengaja berbohong ke mbak-mbak counter cashier Gramed deket rumah karena ditanyain apakah gue membeli buku ini untuk anak gue. Ya. Sakitnya tuh disini *nunjuk2 dada*.
Anyway, buku paling eyecatching di rak "New Release" ini gue lumat habis dalam waktu sejam, dan seperti layaknya buku-buku Dika yang gue baca dari dulu, he always made it simple, funny and add a dash of wit inside it; his writing makes you think. Gue selalu beranggapan bahwa Dika selalu memandang segala sesuatu kejadian yang menimpanya dalam sudut pandang yang lain. Sudut pandang yang layak untuk diceritakan kembali tanpa perlu menghilangkan esensi utamanya sedikitpun dan menyalurkan point penting ke pembacanya dengan santai dan mudah dimengerti. Dan jujur gue melihat perkembangan penulisan Bang Radit ini berubah dari buku ke buku. Dengan mengenyampingkan KambingJantan karena buku tersebut merupakan hasil adaptasi dari blog lamanya dia, gaya penulisan Radit makin kesini semakin menunjukan pendewasaan. Berbeda dengan buku-buku pendahulunya, terutama Cinta Brontosaurus (edisi cetakan awal tentunya, dengan cover merah bergambar dinosaurus berkepala Raditya Dika lagi mangap), dimana (sepertinya dan IMHO) ia sangat terinspirasi oleh David Sedaris dan masih mencari-cari bagaimana cara ia menuliskan ceritanya ke para pembacanya. Dan sekarang ketika gue membaca Koala Kumal ini, gue merasakan alur penulisan yang lebih santai, lebih mengalir dan apa ya, mungkin lebih jujur.
Dalam buku ini kita akan masih menemukan kekonyolan dan kehebohan dari kejadian-kejadian yang dialaminya secara nyata. It's like what he said on the prelude: dia mencoba untuk membuat komedi dengan hati. Raditya Dika masih sama seperti dahulu, masih tetap suka memasukan unsur flashback, masih memasukan chapter yang berisikan ide-ide gilanya dia seperti dalam "Panduan Cowok dalam Menghadapi Penolakan", lalu recent story dia seperti ia menceritakan bagaimana perjuangannya dalam membangun dan mensukseskan figur Miko sampai dengan saat ini. He was like C3PO from Star Wars, with its original software, but with better parts.
Membaca buku-buku karya Raditya Dika selalu (dan berharap akan tetap) membuat gue mengakhirinya dengan berfikir, melihat kebelakang dan merefleksikan tentang apa yang telah ia tuliskan di buku dengan apa yang terjadi pada kehidupan gue belakangan ini. Mungkin ada kejadian yang serupa terjadi di masa lalu, yang akhirnya gue lihat dengan sudut pandang yang berbeda karenanya. Atau mungkin ada yang belum pernah terjadi pada gue, namun dia sudah memberikan petuah untuk selalu gue ingat dan jadiin bekal.
Karena terkadang, suatu buku bukan hanya menjadi sarana pelarian dari kenyataan atau bahkan sekedar penghibur dikala senggang; terkadang didalam didalam suatu buku, terutama cerita milik orang lain, ada pelajaran yang bisa diambil dan mungkin dapat membuat hidupmu lebih baik.