Friday, September 4, 2015

From These Glasses: Alay

Jam memperlihatkan pukul 10 pagi, dan di televisi, saya secara tidak sengaja melewati sebuah channel local yang sangat eye-catching walaupun hanya sekelebat mata. Dengan alokasi panggung yang dapat dikatakan cukup besar dan luas, nampaknya mampu menahan satu idolgroup yang berpentas jejingkrakan atau bahkan dua biduan dangdut yang menyanyikan lagu berlirik biasa saja namun memberikan goyangan yang erotis bahkan, dapat dikatakan, cenderung memaksa untuk erotis. Tidak seberapa lama, sang MC bermunculan dari samping panggung, mengenakan kacamata hitam dan pakaian yang agak terlalu berlebihan untuk dikenakan di siang hari. Ah, artis, nobody will ever blame them for something they wear or stuff; people loved them. Kamera berganti scene, sekarang menggunakan craneshoot melihat area panggung secara lebih luas, dan pada akhirnya mampu memberi tahu audience bahwa panggung tersebut berada di tengah-tengah kompleks ruko. And there’s a helluva people.

Sedari dulu saya selalu bertanya-tanya, siapakah orang-orang itu? Siang bolong gini, kenapa gak pada kerja? Malah jejogetan dan melakukan chanting atas suatu lagu, atau bahkan menimpali jokes receh yang diberikan oleh para MC dengan teriakan “WAAAAAAAAAA” atau “WOOOOOOOO” atau “CIEEEEEEE”. Who are they? And why they’re here? Apakah memang telah diciptakan oleh Sang Maha Kuasa suatu kaum yang hanya eksis di dunia perpanggungan dan audiensi?

Dahulu...

Circa 2009-2010, sebuah band local bernuansa rock (atau rock-n-roll mungkin) bernama Superglad menggubah suatu lagu yang berjudul “Alay”. Pada saat itu, saya ingat, frontman Superglad, Buluk, masih melakukan siaran sore bersama Jimi “The Upstairs” di TraxFm. Entah saya benar atau salah, pada suatu hari, kedua penyiar tersebut memutarkan lagu Superglad tersebut di udara. Dan pada suatu hari, Buluk mengabarkan bahwa Superglad akan pentas di salah satu acara tv lokal yang mengedepankan band-band dan penyanyi-penyanyi yang sedang naik daun, baik itu yang sudah dikenal maupun yang belum terkenal, yang sedang marak di kalangan masyarakat menengah dan menengah kebawah. Dan Buluk pun mengatakan bahwa mereka akan membawakan lagu tersebut di acara tersebut, dan hal tersebut membuat gempar. Why, you asked?

Mungkin sebelum kita beranjak lebih jauh, lebih baik saya ambil cuplikan lirik Superglad tersebut:

Foto dengan angle dari atas
Mulut sedikit manyun tanpa harus tersenyum
Maaf dibilang MUV
Jadi dun kita cabcus
Apa u di hums?


Mungkin sebagian anak muda jaman sekarang tidak mengalami fase seperti ini: foto diri sendiri dari sudut tertentu diatas wajah baik dari arah kiri atau kanan; gaya raut muka terbatas – apakah itu meletakan 1 jari di pipi, gaya hormat upacara bendera, membelendungkan pipi, meletakan jari didepan bibir yang mencibir, atau bahkan melihat arah lain seolah-olah foto tersebut merupakan foto candid; penggunaan Nokia Photo Editor masih ramai; Facebook merupakan media sosial yang baru dipahami oleh generasi itu dan Friendster sedang mengalami masa puncaknya; bahasa sms yang terkadang membutuhkan keterampilan tertentu dan intelegensia yang cukup untuk mampu menerjemahkannya. Itu adalah jaman saya, jaman kami, jaman dimana “Alay” merupakan suatu fase yang tidak dapat dihindari dari pembentukan kepribadian dan kultural remaja.

Definisi...

Mengutip dari lirik Superglad kembali, definisi Alay merupakan suatu istilah untuk “anak kampungan” [1]. Sedangkan menurut kamus urban anak jaman dahulu, Alay merupakan singkatan dari “Anak Layangan”; term yang muncul dikarenakan dulu masih sering terlihat anak-anak remaja tanggung bermain layangan dipinggiran tol, dan kebanyakan dari mereka berambut merah kecoklatan (karena terlalu lama terkena matahari) [2][?]. Perlahan term ini bergeser pengertiannya. Semakin mengarah dan mendekati tahun 2011-an, Alay memiliki pengertian sebagai “para individu muda yang memiliki gaya hidup, preferensi trend dan musik, serta aktifitas yang sudah tidak dilakukan atau digunakan atau dipilih oleh sebagian besar individu lainnya.” [3] Namun, hal ini harap dibedakan dengan kalangan hipster di Jakarta, dimana Alay lebih terfokus dan tergeneralisasi untuk segala aspek mode dan preferensi yang dikatakan “kampungan” sedangkan hipster lebih kepada mode dan preferensi yang “berbeda arus namun trendy”.

Harap membedakan yang mana Hipster (kanan) yang mana Alay (kiri) - Photo: Google

Pada dasarnya keberadaan Alay dan hipster dapat dikatakan sama: kedua subculture ini bertolak kepada perubahan persepsi dan juga preferensi, baik dari sisi individu yang melakukan dan juga dari sisi individu yang memperhatikan/ masyarakat umum. Namun perbedaannya adalah Alay lebih memiliki konotasi yang negatif dibandingkan hipster yang lebih cenderung kepada konotasi positif.  Hipster masih dianggap sebagai subculture atau bahkan gaya hidup tertentu, sedangkan Alay terkadang malah menjadi suatu status yang diberikan kepada seseorang yang bersifat negatif.

Sebagai contoh dilihat dari teknik pengambilan foto diri (selfie). Para alay masih memiliki kecenderungan untuk menggunakan rumus “45 derajat diatas garis muka + geser kanan/kiri” atau bergaya sembari mengacungkan jari tengah + berkacamata hitam + muka sengak. Rumus tersebut masih belum dapat dikatakan absolut, namun jika dilihat dari beberapa akun Facebook dan bahkan akun Twitter pada saat ini yang dapat dikatakan “akun alay”, rumus tersebut masih sering mereka pergunakan. Walaupun perumusan gaya tersebut masih belum memiliki perkembangan atau perubahan yang signifikan, namun tindakan komplementer selanjutnya – yaitu melakukan pengeditan terhadap muka dan foto mereka – sudah dapat dikatakan memiliki perkembangan. Dapat dilihat bahwa pada saat ini, smartphone merupakan produk yang dapat dimiliki oleh siapapun, berbeda dengan keadaan beberapa tahun silam. Sehingga, wajar terjadi jika sudah semakin sedikit kita melihat foto-foto yang memiliki embel-embel Nokia Photo Editor (ditandai dengan low res picture dan in-caption dengan font 8-bit) dan semakin sering kita melihat foto dengan wajah yang tampak sedikit awkward, dimana penggunaan Camera360 atau Beautify sebagai aplikasi untuk mengedit foto diri agar terlihat “baik” menjadi semakin tenar. Hal ini (walaupun belum dapat dikatakan absolute) dapat dilihat dari: ukuran wajah yang terkadang tidak proporsional; kadar white tone dalam foto terlampau tinggi; dan keanehan-keanehan lainnya dalam rangka memperbaiki penampilan di dalam foto tersebut.


Dahulu vs Sekarang

Kembali ke Superglad dan juga konser mereka diantara kaum alay tersebut. Ada yang menyatakan bahwa crowd acara tersebut hanya tertegun mendengar lagu mereka. Ada juga yang menyatakan bahwa ada gempar-gempor setelah acara tersebut. Saya secara pribadi tidak melihat kejadian itu di televisi, namun Buluk (seingat saya) membicarakan hal tersebut di suatu hari, ketika ia dan Jimi sedang siaran. Dan semenjak saat itulah para audience acara-acara seperti Dahsyat, Inbox dan sejenisnya, menari, bernyanyi, teriak-teriak menimpali jokes para mc, secara resmi disebut Alay.

Bagaimana dengan sekarang? Apakah mereka masih ada? Tentu saja, dan nampaknya hal ini tidak akan menghilang begitu saja. Gaya akan selalu berubah, dan begitu juga gaya hidup. Begini, pada dasarnya para alay cenderung “telat” dalam mengikuti perkembangan trend, sehingga mereka terlihat misfit dan juga terkesan ketinggalan jaman. Sehingga, kaum ini tidak akan habis, mereka akan terus ada, mengikuti trend yang ada, namun terlambat.

Raditya Dika (penulis idola cihuy) juga pernah memasuki fase Alay - suatu bukti bahwa ke-Alay-an merupakan sesuatu yang temporal. Photo by Raditya Dika (web)

Alay akan terus ada, mungkin hingga nanti hari kiamat tiba (tergantung kepercayaan dan agama masing-masing). Mereka, para individu yang masih mengenakan celana melorot dan mempertunjukan boxer mereka masing-masing. Mereka, para individu yang masih suka mengambil foto dari angle atas tanpa menggunakan tongsis atau alat bantu fotografi lainnya selain tangan mereka sendiri. Mereka, yang menganggap bahwa menyetel lagu handphone menggunakan speaker di ruang public adalah tindakan yang biasa saja. Ada ruang di diri kita masing-masing untuk para individu tersebut. Seberapa parahnya perilaku mereka, seberapa tidak matchingnya pakaian yang mereka kenakan.

Karena pada dasarnya kita secara personal tahu, bahwa kita juga pernah mengalami masa yang sama. Masa dimana pencarian jati diri dilaksanakan. Mencari sesuatu yang cocok dan mungkin bisa menjadi suatu identitas diri. Mereka adalah jiwa-jiwa yang tersesat dan tidak tahu arah jalan pulang. Mereka sudah kepalang tanggung, tidak ada jalan untuk kembali. Mereka sudah memasuki fase tersebut, dan satu-satunya cara untuk menyelesaikannya, adalah dengan menjalaninya.

****

P.S.
Penulis merupakan lahiran 91, which is masa kegelapan saya merupakan masa dimana saya SMA. Mulai dari celana gombrong, jaketan setiap hari, mendengarkan band-band mendayu-dayu, rambut di highlight merah, pernah foto dari angle atas, bahkan dari bawah juga pernah, pernah melakukan ala-ala Jackass di taman deket rumah bersama temen satu angkatan, mendramatisir kehidupan personal, melukai diri sendiri dengan mecut lengan menggunakan senar gitar yang sudah putus, mendengarkan lagu galau ketika patah hati, berpakaian aneh bin gak matching, mengenakan celana agak melorot dan boxer kelihatan, menyetel musik dari handphone menggunakan speaker agar terkesan keren (padahal annoying), menggunakan aksesoris seperti kalung pedang dan bahkan cincin tengkorak, dan yang paling penting dan belum saya bahas diatas adalah penggunaan bahasa alay selama kurang lebih 3 tahun masa saya di SMA. Mungkin akan dicoba dibahas di lain kesempatan.