Jam memperlihatkan
pukul 10 pagi, dan di televisi, saya secara tidak sengaja melewati sebuah
channel local yang sangat eye-catching
walaupun hanya sekelebat mata. Dengan alokasi panggung yang dapat dikatakan
cukup besar dan luas, nampaknya mampu menahan satu idolgroup yang berpentas jejingkrakan atau bahkan dua biduan
dangdut yang menyanyikan lagu berlirik biasa saja namun memberikan goyangan
yang erotis bahkan, dapat dikatakan, cenderung memaksa untuk erotis. Tidak
seberapa lama, sang MC bermunculan dari samping panggung, mengenakan kacamata
hitam dan pakaian yang agak terlalu berlebihan untuk dikenakan di siang hari.
Ah, artis, nobody will ever blame them
for something they wear or stuff; people loved them. Kamera berganti scene,
sekarang menggunakan craneshoot melihat
area panggung secara lebih luas, dan pada akhirnya mampu memberi tahu audience
bahwa panggung tersebut berada di tengah-tengah kompleks ruko. And there’s a helluva people.
Dahulu...
Circa 2009-2010, sebuah
band local bernuansa rock (atau rock-n-roll mungkin) bernama Superglad
menggubah suatu lagu yang berjudul “Alay”. Pada saat itu, saya ingat, frontman Superglad, Buluk, masih
melakukan siaran sore bersama Jimi “The Upstairs” di TraxFm. Entah saya benar
atau salah, pada suatu hari, kedua penyiar tersebut memutarkan lagu Superglad
tersebut di udara. Dan pada suatu hari, Buluk mengabarkan bahwa Superglad akan
pentas di salah satu acara tv lokal yang mengedepankan band-band dan
penyanyi-penyanyi yang sedang naik daun, baik itu yang sudah dikenal maupun
yang belum terkenal, yang sedang marak di kalangan masyarakat menengah dan
menengah kebawah. Dan Buluk pun mengatakan bahwa mereka akan membawakan lagu
tersebut di acara tersebut, dan hal tersebut membuat gempar. Why, you asked?
Mungkin sebelum kita
beranjak lebih jauh, lebih baik saya ambil cuplikan lirik Superglad tersebut:
Foto
dengan angle dari atas
Mulut
sedikit manyun tanpa harus tersenyum
Maaf
dibilang MUV
Jadi
dun kita cabcus
Apa
u di hums?
Mungkin sebagian anak
muda jaman sekarang tidak mengalami fase seperti ini: foto diri sendiri dari
sudut tertentu diatas wajah baik dari arah kiri atau kanan; gaya raut muka
terbatas – apakah itu meletakan 1 jari di pipi, gaya hormat upacara bendera, membelendungkan
pipi, meletakan jari didepan bibir yang mencibir, atau bahkan melihat arah lain
seolah-olah foto tersebut merupakan foto candid;
penggunaan Nokia Photo Editor masih
ramai; Facebook merupakan media sosial yang baru dipahami oleh generasi itu dan
Friendster sedang mengalami masa puncaknya; bahasa sms yang terkadang
membutuhkan keterampilan tertentu dan intelegensia yang cukup untuk mampu
menerjemahkannya. Itu adalah jaman saya, jaman kami, jaman dimana “Alay”
merupakan suatu fase yang tidak dapat dihindari dari pembentukan kepribadian
dan kultural remaja.
Sebagai contoh
dilihat dari teknik pengambilan foto diri (selfie).
Para alay masih memiliki kecenderungan untuk menggunakan rumus “45 derajat
diatas garis muka + geser kanan/kiri” atau bergaya sembari mengacungkan jari
tengah + berkacamata hitam + muka sengak. Rumus tersebut masih belum dapat
dikatakan absolut, namun jika dilihat dari beberapa akun Facebook dan bahkan
akun Twitter pada saat ini yang dapat dikatakan “akun alay”, rumus tersebut
masih sering mereka pergunakan. Walaupun perumusan gaya tersebut masih belum
memiliki perkembangan atau perubahan yang signifikan, namun tindakan
komplementer selanjutnya – yaitu melakukan pengeditan terhadap muka dan foto
mereka – sudah dapat dikatakan memiliki perkembangan. Dapat dilihat bahwa pada
saat ini, smartphone merupakan produk yang dapat dimiliki oleh siapapun,
berbeda dengan keadaan beberapa tahun silam. Sehingga, wajar terjadi jika sudah
semakin sedikit kita melihat foto-foto yang memiliki embel-embel Nokia Photo
Editor (ditandai dengan low res picture
dan in-caption dengan font 8-bit) dan
semakin sering kita melihat foto dengan wajah yang tampak sedikit awkward, dimana penggunaan Camera360
atau Beautify sebagai aplikasi untuk mengedit foto diri agar terlihat “baik”
menjadi semakin tenar. Hal ini (walaupun belum dapat dikatakan absolute) dapat
dilihat dari: ukuran wajah yang terkadang tidak proporsional; kadar white tone dalam foto terlampau tinggi;
dan keanehan-keanehan lainnya dalam rangka memperbaiki penampilan di dalam foto
tersebut.
Definisi...
Mengutip dari lirik
Superglad kembali, definisi Alay merupakan suatu istilah untuk “anak kampungan”
[1]. Sedangkan menurut kamus urban anak jaman dahulu, Alay merupakan singkatan
dari “Anak Layangan”; term yang
muncul dikarenakan dulu masih sering terlihat anak-anak remaja tanggung bermain
layangan dipinggiran tol, dan kebanyakan dari mereka berambut merah kecoklatan
(karena terlalu lama terkena matahari) [2][?]. Perlahan term ini bergeser pengertiannya. Semakin mengarah dan mendekati
tahun 2011-an, Alay memiliki pengertian sebagai “para individu muda yang
memiliki gaya hidup, preferensi trend dan musik, serta aktifitas yang sudah
tidak dilakukan atau digunakan atau dipilih oleh sebagian besar individu
lainnya.” [3] Namun, hal ini harap dibedakan dengan kalangan hipster di Jakarta, dimana Alay lebih
terfokus dan tergeneralisasi untuk segala aspek mode dan preferensi yang
dikatakan “kampungan” sedangkan hipster
lebih kepada mode dan preferensi yang “berbeda arus namun trendy”.
Harap membedakan yang mana Hipster (kanan) yang mana Alay (kiri) - Photo: Google |
Pada dasarnya
keberadaan Alay dan hipster dapat
dikatakan sama: kedua subculture ini
bertolak kepada perubahan persepsi dan juga preferensi, baik dari sisi individu
yang melakukan dan juga dari sisi individu yang memperhatikan/ masyarakat umum.
Namun perbedaannya adalah Alay lebih memiliki konotasi yang negatif
dibandingkan hipster yang lebih
cenderung kepada konotasi positif. Hipster masih dianggap sebagai subculture atau bahkan gaya hidup
tertentu, sedangkan Alay terkadang malah menjadi suatu status yang diberikan
kepada seseorang yang bersifat negatif.
Dahulu vs Sekarang
Kembali ke Superglad
dan juga konser mereka diantara kaum alay tersebut. Ada yang menyatakan bahwa crowd acara tersebut hanya tertegun
mendengar lagu mereka. Ada juga yang menyatakan bahwa ada gempar-gempor setelah
acara tersebut. Saya secara pribadi tidak melihat kejadian itu di televisi,
namun Buluk (seingat saya) membicarakan hal tersebut di suatu hari, ketika ia
dan Jimi sedang siaran. Dan semenjak saat itulah para audience acara-acara
seperti Dahsyat, Inbox dan sejenisnya, menari, bernyanyi, teriak-teriak
menimpali jokes para mc, secara resmi
disebut Alay.
Bagaimana dengan
sekarang? Apakah mereka masih ada? Tentu saja, dan nampaknya hal ini tidak akan
menghilang begitu saja. Gaya akan selalu berubah, dan begitu juga gaya hidup.
Begini, pada dasarnya para alay cenderung “telat” dalam mengikuti perkembangan
trend, sehingga mereka terlihat misfit
dan juga terkesan ketinggalan jaman. Sehingga, kaum ini tidak akan habis,
mereka akan terus ada, mengikuti trend yang ada, namun terlambat.
Raditya Dika (penulis idola cihuy) juga pernah memasuki fase Alay - suatu bukti bahwa ke-Alay-an merupakan sesuatu yang temporal. Photo by Raditya Dika (web) |
Alay akan terus ada,
mungkin hingga nanti hari kiamat tiba (tergantung kepercayaan dan agama
masing-masing). Mereka, para individu yang masih mengenakan celana melorot dan
mempertunjukan boxer mereka masing-masing. Mereka, para individu yang masih
suka mengambil foto dari angle atas tanpa menggunakan tongsis atau alat bantu fotografi lainnya selain tangan mereka
sendiri. Mereka, yang menganggap bahwa menyetel lagu handphone menggunakan
speaker di ruang public adalah tindakan yang biasa saja. Ada ruang di diri kita
masing-masing untuk para individu tersebut. Seberapa parahnya perilaku mereka,
seberapa tidak matchingnya pakaian
yang mereka kenakan.
Karena pada dasarnya
kita secara personal tahu, bahwa kita juga pernah mengalami masa yang sama.
Masa dimana pencarian jati diri dilaksanakan. Mencari sesuatu yang cocok dan
mungkin bisa menjadi suatu identitas diri. Mereka adalah jiwa-jiwa yang
tersesat dan tidak tahu arah jalan pulang. Mereka sudah kepalang tanggung,
tidak ada jalan untuk kembali. Mereka sudah memasuki fase tersebut, dan
satu-satunya cara untuk menyelesaikannya, adalah dengan menjalaninya.
****
P.S.
Penulis merupakan
lahiran 91, which is masa kegelapan
saya merupakan masa dimana saya SMA. Mulai dari celana gombrong, jaketan setiap
hari, mendengarkan band-band mendayu-dayu, rambut di highlight merah, pernah foto dari angle atas, bahkan dari bawah
juga pernah, pernah melakukan ala-ala Jackass di taman deket rumah bersama
temen satu angkatan, mendramatisir kehidupan personal, melukai diri sendiri
dengan mecut lengan menggunakan senar gitar yang sudah putus, mendengarkan lagu
galau ketika patah hati, berpakaian aneh bin gak matching, mengenakan celana
agak melorot dan boxer kelihatan, menyetel musik dari handphone menggunakan
speaker agar terkesan keren (padahal annoying), menggunakan aksesoris seperti
kalung pedang dan bahkan cincin tengkorak, dan yang paling penting dan belum
saya bahas diatas adalah penggunaan bahasa alay selama kurang lebih 3 tahun
masa saya di SMA. Mungkin akan dicoba dibahas di lain kesempatan.