Wednesday, December 31, 2014

2014: The Significant Year

I won't be a pseudo-intellectual person now, setidaknya untuk post kali ini aja sih. I just want to tell some things that happened, and the morale story from it. Semua dimulai pada tahun 2014 (fucking obvious..), tahun dimana umat manusia merasa aman dan nyaman telah melewati "The End of the World" (yeah, I know it was stupid idea..)

2014 gue diawali dengan masuk dan diterimanya gue sebagai mahasiswa MMUI, dimana ibaratnya gue memperpanjang masa belajar gue sedikit lebih lama dibandingkan temen-temen gue lainnya. Gue masih inget bagaimana rasanya kembali menjadi stranger in a strange land, dimana gue pas masuk kembali sendirian dan gak ada temen sama sekali, seakan-akan roda kehidupan membawa kembali diri gue ke titik awal. Gue selalu berharap, dengan masuknya gue ke program pasca-sarjana ini, gue menemukan orang-orang yang hebat, dan lebih sophisticated baik secara intelektual maupun secara personal. In the end, yang gue inginkan adalah menemukan orang-orang yang unik dan setidaknya belajar satu dua hal dari mereka. Namun apa yang gue temukan disana, bukanlah hal yang seperti gue duga. Layaknya kembali ke masa SMA, orang-orang yang gue temui pada awalnya memberikan kesan sophisticate yang tinggi, namun lama kelamaan gue menemukan bahwa, mereka sama seperti gue, setidaknya beberapa dari mereka masih sama seperti gue: manusia-manusia yang mencoba menemukan orang lain yang sophisticated dari mereka dan berharap menemukan sesuatu yang lebih baik atau belajar dari mereka. Dan benar aja, semakin kesini, semakin kelihatan bahwa semakin orang dewasa, semakin mereka mencoba untuk menemukan masa muda mereka yang terpendam oleh stress dan ego. And I learned it in a hard way.

Tahun ini pun gue memasuki umur 23, umur yang seharusnya gue sudah bisa mendapatkan pendapatan sendiri dan mulai memasuki masa dimana teman-teman gue mulai beranak dan membangun suatu keluarga. Hal itu sempet mengganggu pikiran gue, talking about married and stuff. Gue masih inget dimana pas awal 2014 gue masih takut untuk menjalin suatu hubungan yang serius, dan pemikiran untuk menikah masih berada jauh diluar pemikiran gue. Hal itu perlahan berubah ketika gue melakukan perbincangan dengan salah satu temen gue di kampus, dan hal itu mengubah pandangan gue. Gue lupa apa yang gue bicarakan, tapi yang pasti, persepsi gue berubah mengenai pernikahan dan membangun suatu keluarga.

Di tahun ini, gue merasa semakin produktif, semakin terbuka dengan kehidupan sosial dan pandangan gue semakin luas mengenai kehidupan kerja. Dengan gue masuk UI, gue turut serta dalam organisasi kampus. Dengan masuk UI, gue berkesempatan untuk ikut kompetisi case yang diselenggarakan oleh Shell beserta dengan kedua teman gue. Dengan masuk UI, gue berkesempatan untuk masuk dan mengenal lebih dekat dengan perusahaan XL, dan berjumpa serta di-mentori oleh pak Hasnul Suhaimi. Dengan masuk UI, gue merasa ada perubahan dalam hidup gue, walaupun hanya secuil, tapi bermanfaat.

Talking about life won't be great if there was no love story in it. Gue lelah pada awal tahun 2014 untuk memulai suatu hubungan yang serius. Banyak hal yang terjadi, banyak orang yang datang dan pergi, dan banyak juga yang meminta berhenti sebelum gue memulai. Pada awal gue masuk kuliah gue bertemu dengan seorang wanita berjilbab, dan kami berkenalan dengan canggung. Gue masih inget, dia mengenakan jilbab warna krem pastel, bermata belo, dan gaya berkenalannya seakan mengajak berantem. 11 bulan kemudian, gue dan dia berpacaran. Setelah satu semester memendam rasa dan mencoba meyakinkan dia bahwa dia gak sendirian didunia ini, tepat dua hari sebelum gue berulangtahun, gue menyatakan padanya dan selama sejam lebih, kami berbincang di mobil gue untuk membicarakan dos and don'ts. Terkadang untuk sesuatu yang tak bernilai harganya dan sesuatu yang lo anggap worth so much, dos and don'ts tidak akan menjadi suatu permasalahan.

Jadi, disinilah gue berada, dipenghujung tahun 2014 yang kurang dari 12 jam lagi akan berpindah menjadi tahun 2015, tahun yang ibarat buku tulis, masih merupakan buku tulis yang masih kosong. Masih tercium aroma pabrik dimana buku tersebut diproduksi. Buku, yang memiliki banyak kemungkinan untuk ditulis, untuk diceritakan berbagai macam hal, untuk diisi dengan segala macam kemungkinan dalam hidup kedepan. Gue gak bisa meramalkan apa yang akan terjadi dikemudian hari atau memaksakan segala hal yang terjadi di tahun 2015 hanyalah hal-hal yang baik saja; karena begitulah hidup dan karena itulah disebut dalam bahasa Inggris sebagai "present" karena kita gak akan tahu apa yang akan kita hadapi kedepannya.

So, I'll let this 2014 with elegance, joy and happiness, and wishing for the next year to be more fill with joy, happiness and infinite possibilities.

Saturday, November 15, 2014

Bahagia itu...

Beberapa minggu ini, gue sedang sangat terinspirasi oleh novel yang barusan gue selesai baca "Hector and The Search of Happiness" karya Francois Lelord, psikiatris yang menurut gue keren, karena mampu menciptakan suatu novel yang ringan, mudah dibaca, dan disini ia menyuarakan pengetahuannya dalam bidang psikologis kedalam alur cerita yang sangat mulus.

Tapi disini gue gak akan melakukan review novel ini, banyak yang mampu melakukannya lebih baik dari gue di goodreads.

So, seperti yang gue tulis di awal tadi, gue sedang terinsiparasi banget sama novel ini, bagaimana seseorang mencari-cari alasan apa, faktor apa yang mampu membuat seseorang merasa bahagia. Di dalam novel, ada yang menyebutkan tentang jatuh cinta, melihat seorang anak perempuan tersenyum, membantu orang lain. Dan sesimpel itu, hidup mereka menjadi lebih baik, menjadi lebih bahagia. Sesuatu yang terlihat sepele dan biasa kita abaikan, ternyata mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mengubah kebahagiaan kita, sebagai seorang individu.

Gue pun ikut-ikutan melakukan hal tersebut, mencari-cari apa sih alasan orang untuk menjadi bahagia. Karena gue juga ingin merasa bahagia, dan gue ingin membahagiakan orang-orang yang ada disekitar gue. Dan dari situ muncul ide pertama, atau masih hipotesa (karena gue bukanlah seorang lulusan psikologi yang mampu menekankan statement gue sebagai lesson (seperti dibuku) atau teori) mengenai kebahagiaan ini.

Ini adalah list yang telah gue tulis sampai dengan post ini ditulis:

  1. Happiness is when you awake, your family was fine.
  2. Happiness is when you know everything will be alright.
  3. Happiness came when you fall in love.
  4. Happiness is getting a sufficient grade to pass a class.
  5. Happiness is when you can express your feeling, freely, regardless the respond it will get.
  6. Happiness is when you get recognized.
  7. Sadly, we felt happier when we realized there's someone unhappier than we do.
  8. Happiness is when all happened as you expected and wanted.
  9. Happiness is sharing.
  10. Happiness is being with persons that accept you as is.
  11. Happiness is when you see, you feel, you know, and you understand why someone else is happy.
  12. Happiness is when you felt connected toward a person completely or not.
  13. Happiness is being listened and get good responses.
  14. Happiness is togetherness.
  15. Happiness is when you reassure something you're unsure about, no matter how small the details are.
  16. Happiness is being yourself.
  17. Unhappiness is when you get a lot of bad words from people or people making fun of you.
  18. Happiness is being a child.
  19. Happiness is less knowing.
  20. Happiness is ...

Jujur gue akui, melakukan hal ini memberikan gue beberapa insight yang belum pernah gue lakuin sebelumnya. I asked my friends about this happiness things dan beberapa dari mereka menjawabnya dengan jawaban yang membuat gue tertegun. Dan gue kembali teringat dengan kata-kata dosen Strategik gue diparuh awal semester 2 ini, dimana dia menganggap gue masih mencari jati diri.

Yes, yes I am.
It may takes years, or maybe weeks or days, but eventually I'll find it, who I am, what my purpose in this world, my duty, my responsibility to this world. Dan semua sepertinya berakar pada satu jawaban: sesama manusia. Gue belajar dari yang hidupnya lebih lama dari gue; hidupnya lebih kompleks daripada gue; yang hidupnya lebih drama daripada gue; yang hidupnya lebih simple daripada gue. Sambil berharap, suatu saat nanti gue kan menemukan apa kebahagiaan yang selama ini gue cari-cari.

Saturday, August 2, 2014

Hunt of The Spinning Plates

Recently I started to collecting vinyls. It all started when Record Store Day was happened and in the middle of crowds and beats and songs and sweats, I decided to bought my first vinyl ever, which is a 7" split single from local band Efek Rumah Kaca/Pandai Besi. It cost me about Rp 150.000 (about $13 while this post was made) and I have no idea at first: how will I play this thingy? Eventually I ended up browsing around via internet some local record seller (which turned out, plenty) and found one of them opened a pre-order of Crosley's turntables. I hooked up with the blue turquoise Cruiser type, but in the end (and thank God, I haven't paid anything for the pre-order) they informed me that they canceled the order, and they still don't know when they will continue to open the pre-order again. At that day, my dream to played the only vinyl I had in that time, faintly died.

Suddenly, out of the blue, Dad suddenly fancied hi-end sound system. He browsed around, asked around, tested a lot of speakers and amplifiers, and bought a lot of hi-fi themed magz. In the end, at that particular evening, he came home with 4 or 5 boxes of speakers, amplifier, CD player and a subwoffer. The day of standard cd player/cassette player/tuner was gone, and those beautiful pile of unboxed electronical thingy were connected, plugged in and out, electrified and grounded. And my Dad took his favourite CD:  Incognito. And our ears were pleased.

I, at sometime, forgotten about the lust of having a turntable. I played several blues tracks and jazz tracks. I even bought Beethoven's CD just for fulfill the curiosity. Days gone and by, and one day, Dad bought a turntable. A simple, transparent hard-covered turntable. I knew when I saw it, I will not sleep that night. And I never been wrong. As it was destined to be there, between those pile of electric, eccentric, sound system; the turntable was fit in, as in color and size. And after plugged in some cables, trials and errors were happened during that time, I played my own first vinyl.

It taste different.

The cracked sound, the weird feeling when you do the process from taking the vinyl, slide out the inside sleeve, took the plate carefully, place it down, moved the bar to the above of the vinyl, and dropped it slowly as the plate was spin and the needle create some cracking sound and eventually the song came in. The familiar tunes that I heard many times in CD and digital. It was like a magical experience. Maybe, that was a part of FUN explained abstractly.

So, here I am. Hunting down new and old plates. My collection got bigger, and in the end, my Dad got influenced too. The good news is there's a particular road in Jakarta that sold second-hand (or maybe multiple-handed) antics and some stuff. From sunglasses, Chinese ceramics, telephones, typewriters, bags, suitcases, and of course, vinyls and cassette tapes. Just last Friday I went there to bought some old plates. I got The Hollies, a band that played some classical Mexican songs (Spanish Flea, etc.), two plates of 60-esque saxophones hits, and a 7" Skeeter Davis single (The End of The World one..) (Too bad, there's a lot of scratches.) I guess this is a start line. Either for fun or some investment for the future. Yes, I read several articles that made a point that collecting vinyl was considered as investment. Well, gotta try to allocate these money for plates and living and legos and books then.

Monday, July 14, 2014

The Barber's Theory

The barber always looking for the main idea first. The big picture it self, which is the intangible results of their consumer's hairs. Some barbers had some different ways or steps when they do the cuttings, as if they were doing some sacred rituals. Some will started from the sides, some will started with the wide area. But it will end up with the same thing: massaging the consumer's head, neck, and back spine. Almost every barber that handled me done this, as like an implicit way to communicate that there is some connection between head-neck-spine, or maybe something else, maintaining the balance of their consumer's body.
Just think like this way..

See everything like barbers does, first they saw the projection of the big picture itself, make it real by the major issue first, then followed by finishing the small but necessary details. The goal was achieved, but we're not live alone in this world, there must be an effect from what we have done to the world, so we must maintain the balance of the universe, by education (head), infrastructure (neck) and of course the most valuable thing each country need most for their ability to survive: society (spine).

Monday, May 26, 2014

Menjadi Jomblo: Diantara Enak dan Gak Enak

Menjadi seorang jomblo - atau akan terlihat lebih berkelas jika kita menyebutnya sebagai single - adalah hal yang relatif. Baik itu merupakan hal yang positif maupun hal yang negatif. Banyak hal yang membuat seseorang enggan untuk memasuki fase ini, namun banyak juga orang yang berharap kembali memasuki dan bertemu dengan hal ini. Ada yang mengatakan bahwa menjadi jomblo itu bebas, tidak ada yang mengatur-atur kehidupan personal kita; ada juga yang mengatakan bahwa ketika seseorang sedang berada di fase ini, pada dasarnya mereka sengaja melakukannya hanya untuk sekedar melakukan revival, baik dalam urusan cinta maupun ketebalan dompet dan tabungan di bank; dan tidak menutup kemungkinan untuk seseorang menjadi jomblo karena keadaan. Dan pernyataan yang terakhir barusan merupakan yang paling...em...never mind.

Gue dulu pernah menulis tema yang serupa di blog gue yang dulu, mungkin circa 2010. Gue menulisnya ketika gue masih baru saja lulus SMA, masih labil, pembendaharaan kata masih terbatas, dan yang paling ironisnya adalah pada saat itu gue masih berada dalam suatu hubungan yang sangat erat dengan mantan gue. It felt wrong. Tidak seharusnya seseorang yang berada dalam suatu hubungan yang harmonis kehidupan alam sutra menceritakan dan memberi wejangan bagi para jomblo. Dan begitu pula sebaliknya, jomblo terhadap pasangan. Jomblo dan Couple memiliki sudut pandangnya sendiri-sendiri mengenai hal yang namanya cinta (Urgh, gue geli sendiri nulis kata ini (tuhkan!)). 

Some saw it as a beautiful butterfly with rainbow wings fluttered and flown across the green meadow of grassland, leaving a rainbow trails and sweet scents that could excelled a petunia's growth; and some saw it as the grossest thing they ever seen right after saw-an-adult-vomiting-his-or-her-recent-meal-at-the-mall-and-pretending-nothing-happened and experienced a lap dance by an extremely over-weighted lady (with tons of skin-fat folding) while did a Arabian belly dance.

Oleh karena itu, demi masa-masa gemilang gue di masa lampau, demi menghapus kesalahan gue dulu karena telah sotoy menasihati para jomblo dengan nasihat-nasihat sesat gue, demi terciptanya masyarakat yang madani, halalan, thoyibban, maka gue dedikasikan post ini untuk gue yang dimasa lampau. Fak yu men, fak yu!

P.S.: Buat dedek-dedek yang masih SD atau baru masuk SMP yang lagi iseng nyari-nyari di google mengenai "enak atau engga sih jomblo itu" atau "jadi jomblo itu enak gak?" atau "to jomblo or to not jomblo; that is the question." (seriously dude, you're way too far out..), kalian telah memasuki blog yang salah! Kalian itu seharusnya lagi asik-asiknya main tak jongkok atau maen galaksing, atau maen tak umpet; bukannya galau mengenai menjadi jomblo atau pacar. Tonton film-film yang berguna, sering-sering tonton TVRI, perbanyak ibadah dan beramal, dan hormati ibu dan bapakmu. Dan kalo kamu-kamu udah terlanjur baca sampai paragraf ini, ya apa boleh buat. Kalian akan melihat segelintir kehidupan yang akan kalian jalani nanti. Enjoy.

***

Sebagian orang mengatakan hanya sekedar kesialan belaka, beberapa orang menanggapinya seperti kejadian biasa yang dialami manusia pada umumnya, dan sebagian orang mengganggapnya sebagai suatu pertanda kiamat selain munculnya Dajjal di muka bumi. Banyak pandangan mengenai jomblo - yang mulai dari sekarang gue akan menulisnya menjadi single agar terkesan berkelas - baik itu yang negatif maupun positif. Dari sudut pandang logika sampai dengan yang berkaitan dengan campur tangan Tuhan YME. Manusia gak berhenti untuk mencari yang namanya definisi dari "menjadi single" itu sendiri, dan begitu pula gue.

Menjadi salah satu kaum manusia yang lebih sering menerima penolakan dan segala sesuatu yang berimbuhan -zone dibelakangnya (friendzone, temen-curhat-zone, driverzone, kakakzone, dan ternyata-sudah-dijodohin-zone) dibandingkan dengan pernyataan cinta yang direspon dengan anggukan disertai senyum simpul seorang lawan jenis yang disukai yang menandakan ia setuju, membuat gue cukup pede untuk menuliskan post ini. Seperti gue menunjukan pada dunia bahwa ada lagi satu orang yang kehidupan percintaanya seperti di film-film yang bergenre bitter-sweet comedy; terkadang lucu untuk ditertawakan bersama-sama, namun di satu poin membuat terdiam dan memaksa untuk merefleksikan diri terhadap realita yang ada.

Menurut gue, ada 2 tipe general kaum single di Indonesia (gue gak berani bilang di dunia; ke Singapore aja belom pernah, apalagi dunia.):
  • Single karena Keadaan
  • Single karena Keinginan
Dua jenis manusia yang berbeda; yang satu dikarenakan oleh takdir, sedangkan yang satu didasari oleh tuntutan hati/perasaan/hasrat/nafsu/kepentingan lain.

Single Karena Keadaan
I bet all of you frequently heard this one. Beberapa orang memasuki (kembali memasuki) fase ini karena keadaan yang memaksa mereka untuk masuk; bisa karena ketidak cocokan yang berakhir putus, perbedaan agama dan pemahaman, salah satu dari kalian telah dijodohkan oleh orang tua masing-masing, munculnya orang ketiga, or just simply can't have each other even both of you were in love. Beberapa hal memang ditakdirkan untuk tidak dapat dijelaskan secara logika atau cara apapun, dan mungkin begitu juga hal ini. Terkadang, mereka yang sering mengalami hal ini cenderung mudah untuk move on, lebih baik dalam hubungan berikutnya; karena mereka belajar dari pengalaman sebelumnya. Esensi dari kehidupan adalah belajar, dalam hal apapun itu.

Single Karena Keinginan
Terkadang mereka tidak mau menyalahkan faktor luar karena telah mempengaruhi keputusan mereka ini; karena mereka tahu bahwa keputusan yang mereka ambil ini memang pure berasal dari dalam diri mereka sendiri. Ada orang yang sengaja memutuskan pasangannya karena sudah bosan dan ada keinginan untuk mencari calon pasangan lain dalam waktu cepat. Ada yang sengaja memutuskan dengan alasan "Kamu terlalu baik untuk aku.." atau "Aku mau fokus belajar/kuliah/kerja dulu..". Atau yang paling membingungkan adalah mereka yang memang memutuskan untuk tidak menjalin hubungan, dan lebih memilih untuk sendiri. It depends on their perception and goals and interest. Ada beberapa tipe orang yang menganggap bahwa dirinya mampu bertahan hidup sendirian, extremely mandiri, bahkan untuk menjadi seorang loner pun menjadi hal yang biasa. Mungkin orang-orang seperti ini memiliki kisah pahit di masa lalu yang membuat mereka menjadi seperti ini. I said this because I know a girl who exactly like this, and not to forget, myself.

Terkadang, keadaan dapat membuat seseorang (atau dua orang) berpisah dan berjalan di setapak yang hanya dapat dilihat masing-masing. Namun terkadang keadaan juga dapat membuat dua orang bertemu tanpa direncanakan, tanpa ada pertanda dari langit dan kawan-kawannya. Seperti dua garis yang pada awalnya tidak pernah bertemu, yang semakin lama mendekati titik dimana mereka akan bersilangan.

Kalian akan bersilangan satu dengan lainnya pada saat yang telah ditentukan, tempat yang ditentukan, dan tanpa mengetahui bagaimana kalian akan saling bertemu satu dengan lainnya. Kau akan menatap matanya tanpa ada persiapan dan begitu juga dengan dirinya. Kalian akan tertegun dan saling memandang dan pada akhirnya kalian berdua akan memberanikan diri untuk tersenyum. Dalam pikiran kalian masing-masing, muncul hasrat untuk saling mengenal, namun kalian bertanya-tanya apakah hal tersebut "wajar"? Pada akhirnya kalian memutuskan untuk saling berjalan sendiri-sendiri, menuju arah yang berbeda, masa depan yang berbeda, dan saling memendam pertanyaan yang sampai pada saat ini masih bertengger damai di dalam hati. Dan kalian pun berjalan menyusuri petapak yang telah ditujukan untuk masing-masing kalian, tanpa mengetahui bahwa didepan sana, kalian akan berjumpa lagi, pada jalan yang sama.

Menjadi single ada enak dan tidak enaknya. Dan mereka memiliki berat proporsi yang kurang lebih sama jika dirata-ratakan. Mungkin sisi menyenangkannya adalah kita memiliki kebebasan yang lebih jika dibandingkan ketika kita berada dalam suatu hubungan yang serius. Mungkin ketika kita sendiri, kita bebas kemanapun, melakukan apapun, berjumpa dengan siapapun, atau berkenalan dengan siapapun yang kita mau. Tidak ada yang dapat mengatur. But when there's no rules, come chaos. Gue selalu beranggapan bahwa seenak apapun gue menjadi jomblo, gue lebih nyaman ketika memiliki pacar. Tapi, tiap orang punya pendapatnya masing-masing. Punya anggapan dan harapan masing-masing mengenai apakah menjadi seorang jombloan/jomblowati adalah hal yang menyenangkan atau tidak.

Gue pernah baca di bukunya Murakami, salah satu karakternya pernah berkata, I'm paraphrasing, "seindah-indahnya suatu mimpi, pada akhirnya mimpi tersebut akan berakhir". Mungkin seindah-indahnya masa-masa lo single akan berakhir dan digantikan dengan masa-masa indah ketika lo memasuki suatu hubungan, dan mungkin masa-masa indah ketika lo berada dalam suatu hubungan akan berakhir, dan eventually lo akan menemukan kembali masa-masa indah ketika lo sendiri. Mungkin.

Monday, January 27, 2014

While All of My Friends Go to Work, I think of My Statistics and Accounting Classes.

Being a student, back in the day of my youth (circa 2009), was absolutely a pain in the ass. Assignment, presentations, homework, quizzes, annoying lecturers, and all of those freshmen's mind through their first term of being a college people, were filled up my mind and started to driving me mad. But now, after I finished my bachelor degree, I ended up, once again, to became a student.

I managed to pass the post-graduate's degree exam with intense study, headaches, frequent nauseous, dandruff, over-eat, and extreme nervous. But when the result was up, all of those annoying things were gone, like a pile of dusts swept away by a wind blows. There were no anxious, nervous, nausea, or even a headache swirling inside my body. As they were lifted up from me by an invisible hand of certainty.

But sometimes, I thought to my self, will I survive this phase? Will I manage to finish this degree, and get a decent job? Will I success or not? Will I hold up my head while walking towards my flocks of friends? Will I I make proud of my self?

In the end, I tried to enjoy this moment, an extended years of my young adult live. I held those insecure and uncertain questions into a box, and put it in deep in my soul, willingly to open it once again when I finish all of this thing.

I tried to make this phase as comfortable as I could. Enjoyed all of those assignments and presentations and pressures that will occur sooner or later, thought about my credits and stuff, about failing a class or survive it; while some of my friends thought about their deadlines and bosses and pushing away the "company droid" thought.

Wednesday, January 8, 2014

2014: The Resolution

I started 2014, right on its first day with awake at 6 in the morning, and greeted all of my family member a happy new year, sat on the dining room, and ate scrambled egg and toast. It was a standard morning on a new year, just like what I did for hundreds of morning a year ago.

Faintly, I heard the sound of trumpets, shouting each other, breaking the silence of the morning, as i stepped into my own bedroom, and yelled, "seriously?!". It wasn't a good morning.

I sat down on my study area, picked out a big, folio sized, pink book. I open it, and started to write.

It was never been an easy task to make out your whole plan for a following year, despite of all the dangers, probabilities, possibilities and maybe unfortunate events that might occurs. Just like when I was second grader high school-er, i created my first resolution filled with hopes and dreams and absolute plans i wanted to do, but turned out, from about 21 points of plan, i managed to finished 3 of them. The rest? Forgotten and leaved away.

But, when I made my second resolution circa 2009, I said to myself, "Just do everything you want to do; resolution was just a piece of paper, where you put down your dreams and thrown it away". I slipped 2009 without any achievement, at all. Well, I managed to graduate from High School, but I considered it was a meant to be event, not a plan, and it must be done no matter what.

As I got older, my age kept adding a number, I said to myself "You need some recognition from other people. Start create!" Several things I had done, from paints, draws, become a guitarist and lyric writers. I even tried to become a stand-up comedian back on the earliest day on college. Until one point, I gave up on everything, and poured it down into words on my computer screen.

In writing, I found my self; an abstract, unplanned activity with a lot of ups and downs, satire and cliche moments, and expressed the untold feeling and ideas which always stored inside my brain. One or two writings I made on English, back then I wasn't proud enough and un-confident enough about my English. Even I knew, I'm still learn how to write in proper way, but till then, it wasn't a bad idea at all.

I managed to started a novel and a short story, one already at its third chapter, and the other was still stuck on the progress. You know, writer's block.

And so, I decided to make this year resolution with two single word that powerful enough to drove me into somewhere I haven't think of, even as i wrote this post.

"LEARN" and "CREATE".

Whatever it is, wood-crafting, creative writing, photography (yes, maybe once again I'll try to learn it by myself), cooks, back again into drawing and designing. And when I have all of those abilities, I will create something; something that will make me surprise by my self.

Just like Neil Gaiman said:
"May your coming year be filled with magic and dreams and good madness. I hope you read some fine books and kiss someone who thinks you're wonderful, and don't forget to make some art - write or draw or built or sing or live as only you can. And I hope, somewhere in the next year, you surprise yourself." - Neil Gaiman

I will surprise myself. I will.