Monday, June 1, 2015

From These Glasses: Hipster

File: writer's
Film Stills dari film Bananas - Woody Allen 1971
Fenomena hipster di dunia sudah tidak asing lagi ditelinga kita, bahkan sampai di negara kita ini, masih terdapat orang-orang yang membicarakan mengenai fenomena yang cukup dramatis dan terkadang ironi ini. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa penjelasan hispter adalah sebagai berikut:
"A subculture of men and women . . . [which are] broadly associated with indie and alternative music, a varied non-mainstream fashion sensibility, [have] a generally progressive political views, [eat] organic and artisanal foods, and [have an] alternative lifestyle . . . of a generation Y." - Wikipedia (altered)

Berdasarkan definisi diatas, dapat kita lihat bahwa Hipster dapat dicirikan dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki kecenderungan untuk mendengarkan musik indie dan musik alternative.
  2. Memiliki sense of fashion atau tata busana yang berbeda dengan gaya yang sedang trend pada saat ini.
  3. Memiliki  pandangan politik yang secara terus menerus berubah dan berkembang.
  4. Memiliki tendensi untuk mengkonsumsi makanan - makanan organik dan makanan yang artistic.
  5. Memiliki gaya hidup yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Jika kita menilik sejarah mengenai Hipster ini, kita kembali ke tahun 1940, dimana asal kata hipster itu berasal. Berawal dari kata hip yang memiliki arti "[kemampuan untuk] mengetahui informasi secara lengkap mengenai skena/ scene yang sedang berkembang" dan definisi terkuat muncul jauh sebelum penggunaan hip sebagai suatu kata slang yang acap digunakan, pada tahun 1902, yang dimana hip memiliki arti "in the know" atau memahami [1]. Lalu perlahan semakin dapat diterima dan dengan penambahan suffix -ster yang memiliki arti "seseorang yang melakukan hal tertentu" [2], kehadiran hipster mulai merambah, dan terutama setelah perang dunia kedua, keberadaan hipster terutama di kawasan Amerika dan Eropa mulai berkembang [3].

Spread from Paste Magazine November '09
Dapat dilihat dari spread majalah diatas bahwa dimulai pada tahun 2000an, fenomena hipster ini sudah menunjukan eksistensinya. Penjelasan detail akan gambar diatas dapat dilihat disini. Gambar diatas menunjukan bahwa eksistensi hipster akan terus berkembang dan berkembang, mengikuti jaman, dengan ekspresi serta keunikannya sendiri, yang membuatnya berbeda dibandingkan dengan gaya hidup yang lainnya.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Apakah hipster pernah ada dalam sejarah negara kita ini? Dan bagaimana keadaan mereka sekarang?

Jika anda sempat mengingat dahulu, sekitar circa 2005 - 2006, dimana banyak foto profile Friendster dan newly breed Facebook teman-teman anda merupakan gaya goth atau biasa disebut sebagai gothic disini, dengan poni panjang lurus menutupi sebelah mata, dan sangat mampu mengingatkan anda dengan group band Good Charlotte? Ingat dimana masa-masa Indra Bekti sering mengenakan kaos rangkap-rangkap beserta topi yang dikenakan secara miring?

Kehadiran dan eksistensi fenomena hipster ini dahulu pernah masuk kedalam budaya kita, terutama di area Jakarta, yang dapat dikatakan sebagai driver untuk kultur-kultur baru yang nantinya akan diadaptasi oleh wilayah-wilayah daerah lainnya. Mungkin bisa saja saya salah, namun saya mengingat keberadaan Goth, Emo dan The Ashton (baju rangkap-rangkap + topi) sempat jaya pada masanya. Mungkin ada lini gaya lain yang sempat masuk ke Indonesia, namun mungkin hanya tiga generasi fenomena inilah yang sukses untuk diterima dan diadaptasi oleh kebanyakan kaum urban di Indonesia terutama anak muda.

Lalu bagaimana dengan sekarang?

Pasar Santa. Photo by Tha Tha, who ever she is...
Akhir 2014 sampai dengan 2015 ini, Indonesia nampaknya memiliki kultur baru yang sudah cukup dominan diterapkan dan dilakoni oleh banyak pihak, namun masih dapat dikatakan sangat segmented. Banyak yang menyebutnya sebagai "Indie Scene" atau skena indi. Dimana disini, sama seperti hipster, mereka mempunyai gaya hidup yang berbeda, playground yang berbeda dengan kebanyakan orang, perilaku dan preferensi yang berbeda, dan tentu saja yang menjadi pembeda utama adalah jenis musik yang mereka dengarkan.

Dengan berkiblatkan Jakarta Selatan sebagai pusat utama kegiatan, dimana banyaknya artspace, secret gigs dan lokasi-lokasi nongkrong hits lainnya, Jakarta Selatan mampu menjadi barrier utama yang dapat melakukan filtering terhadap budaya-budaya baru dari luar untuk diserap kedalam dan berubah menjadi suatu budaya yang baru. Sebut saja kembalinya vinyl dan musik analog, gaya berpakaian ala majalah Vogue yang trendi dan sangat, sangat artisanal, gaya rock-a-billy dan vintage, eksistensi vespa meningkat karena gencarnya Mod's Day, dst. dst. sampai titik dimana budaya sudah tidak dapat dijelaskan secara gamblang dan hanya secara batiniah saja. Ya, barusan saya mengarang saja.

Sehingga, kesimpulan yang didapat dari ngalor-ngidul ini adalah budaya akan terus menerus berkembang, ceteris paribus, dimana semua aspek lain dianggap tetap. Budaya akan terus berubah, gaya gaya baru akan terus berubah, preferensi, permintaan, kebutuhan dan sebagainya juga akan turut berkembang dan berganti. Sehingga belajarlah dari kaum marjinal yang mapan ini.

What ever they go, what ever happens.. A gig is a gig, once one of my hipster's friend said.