Thursday, March 12, 2015

Anak Selatan Jakarta: Scenester atau Trendsetter?

Terkadang lo tidak akan tahu kapan suatu ide akan menyerang alam sadar lo. Baik itu lo lagi mengerjakan tugas, lagi nyetir, lagi buang aer, atau bahkan ketika lo sedang "sibuk" berpacaran. Semacam jentikan jari, dan puff, ide nongol di kepala lo. Sama halnya kaya ini.

Sedari tadi gue mengerjakan tugas dadakan, dimana gue harus membuat suatu presentasi, 3 slide saja, mengenai apapun yang gue cukup paham, dan kalo bisa paham bener. Entah kenapa otak gue langsung menuju satu folder tertentu didalam memori, dan folder itu berada di area "Informasi Gak Penting". Yap, I'm a human library for unimportant things. Dan setelah beberapa jam, akhirnya gue menyelesaikan powerpoint tersebut. Dan tema yang gue bawa adalah: *ehem* Hipster.

Why hipsters? Kenapa gak yang lain? Mengenai policy apa gitu? Ekonomi gitu? Well, jujur gue melihat hipster merupakan salah satu human behavior yang pada akhirnya nanti akan menjadi suatu segmen konsumen sendiri yang mempunyai consumer behavior tersendiri. Cukup lah akademisnya disini. LANJUT!

Well, selama gue membuat mahakarya gue itu, gue berfikir,

"Apakah ada scene di Indonesia sendiri yang merupakan aseli sini? Or at least hanya sedikit menyerap dari luar?"

Dan mendadak pikiran gue melayang ke Jakarta Selatan. Oh yes, area Jakarta yang sangat terkenal dengan berbagai kultur, scene, event nan mujarab yang biasa terjadi. Mulai dari art space hingga area prestige nan hip berada disitu (tidak termasuk kebon binatang Ragunan)(dan terminal Pondok Labu). Terkenal dengan PIM, CITOS, Kemang, dan area lainnya. Dan tentu saja jika berbicara tentang Jakarta Selatan, kita tidak dapat lepas dari kata "Anak Selatan Jakarta".

||

Seperti yang kebanyakan dari kita ketahui bahwa banyak hal menakjubkan berasal dari area Selatan ini, dan tidak dapat dipungkiri bagaimana pentingnya peran anak-anak Jakarta Selatan berperan sebagai gatekeeper mengenai kultur dan fashion yang pada nantinya akan perlahan meluas, ke Jakarta Barat, Pusat, bahkan sampai antar pulau di Indonesia.

Kita masih dapat mengingat (atau tidak, tergantung tahun lahiran anda) bagaimana scene Emo pada tahun circa 2003an masih merupakan hal yang baru, dimana Indonesia mulai menggandrungi band-band semacam Good Charlotte (dulu) bahkan Blink 182 (yang padahal gak emo-emo banget). Dimana rambut panjang, disibakan kedepan menutupi salah satu mata kita. Namun melihat hal tersebut, pada saat ini kita hanya bisa bernafas mlengos, karena scene itu masih diterapkan oleh beberapa mas-mas diluar sana yang barusan saja mengaktifkan akun facebooknya.

Kita juga masih dapat mengingat (sekali lagi, umur matters) dimana jaman menggunakan celana panjang baggy yang longgar hingga nampak boxer yang kita gunakan (atau kancut GTMan untuk sebagian orang) dan pantat kemana-mana, baju gedambrongan ala-ala rapper pada saat itu. Oh yes, it was a great era, but now, kalo kita jalan-jalan pake outfit seperti itu, mungkin orang akan mengira kita sedang kabur dari imunisasi atau suntik rabies.

As the time flies, kita melewati masa-masa handband, masa-masa celana sobek-sobek dengan tema anti-kemapanan (bahkan scene ini masih bertahan sampai sekarang!), shuffle dance, kacamata Kanye West yang kaya krei jendela, all those styles, all those accessories we had, menurut gue (opini; bisa aja salah) kebanyakan berasal dan difilter dari Selatan Jakarta.

Masih ingat slogan anak diluar Jakarta Selatan untuk anak Jakarta Selatan pas jaman mereka SMA circa 2006-2007? 3B atau apa gitu gue lupa, dan ini hanya ditargetkan kepada anak cewek Selatan Jakarta: Behel, Belah-Tengah, Black-Menthol. Gue inget, jaman segitu pas main ke PIM, semua cewe dandanannya sama kabeh. Mungkin yang optional ya rokok Black Menthol itu, tapi semua seperti di copy-paste: berbehel dan belah tengah. Tapi itu dulu, mungkin mereka kini sudah menjadi pegawai bank yang baik, atau bahkan pilot, atau bekerja kantoran demi masa depan dengan sang pacar. Who knows?

Jakarta Selatan telah menjadi gatekeeper terbaik untuk masalah scene fashion, style dan kultur yang akan diserap oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Ibarat Mekkah, Jakarta Selatan merupakan kiblat orang, terutama anak remaja, dalam hal kultur dan fashion. Disanalah terkadang budaya baru diajak masuk, diusir keluar, dan bahkan beberapa budaya yang dianggap kurang namun mayan kece (mayan: lumayan) akan digabungkan menjadi satu menjadi satu budaya baru yang utuh, dengan sentuhan Selatan tentunya. Gue gak tahu apa itu, apakah scene itu sudah masuk seperti yang kita lihat di gaya dan lifestyle anak Santa atau bukan. Tapi it's a good thing. We have a line, a hundreds of it, of young men and women, who will test and filtering the culture, without they know they do it, for the rest of Indonesia. They are the trendsetters, yet they are scenesters.

But I love to call them Jaksel-esque. It's so much better, it have an identity. Everything that will grow need an identity though.

||

In the end, for those who offended or such, please don't. It's just an opinion, cuma sekedar brainfart yang berakhir menjadi tulisan panjang di blog gue. Sukur sukur lau nemu ini post, engga juga gak pape. Huehuehueheue.

In the end, viva la vida loca! Tut Wuri Handayani! Slamolekom!