Monday, October 1, 2018

#MovieGlasses: Dian Sastro, Kuliner dan Film - Aruna dan Lidahnya (2018)

Hari ini, kegiatan kuliner gue sedikit basic. Dimulai dari sarapan dengan bandeng presto hangatan kemarin dan nasi putih, makan siang Nasi Goreng Sambel Terasi Es Teler 77 dan ditutup dengan tiga slice Pizza. Sebenernya tidak basic sih, namun berlemak lebih tepatnya. 

Kuliner gue hari ini berlemak. 

Namun, diantara makan siang dan makan malam barusan, sempat gue jajal sebuah konsumsi yang cukup baik. Gak untuk perut sih, tapi untuk mata dan juga... well, mata sih lebih tepatnya.


Bumbu Utama

Cast "Aruna dan Lidahnya" - source: Twitter.com
Aruna dan Lidahnya pada dasarnya adalah sebuah novel garapan Laksmi Pamuntjak (which I never read it before) yang diangkat menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Edwin (which I never saw a movie directed by him before). Dan seperti yang dapat dilihat dari gambar diatas, film ini dibintangi oleh Nicholas Saputra, Hannah Al Rashid, Oka Antara daaannn MBAK Dian Sastro.

Premis utamanya pada dasarnya adalah Mbak Dian aka Aruna ini pengin kulineran sembari dinas keluar kota (empat kota) yang berakhir memecahkan konspirasi dan juga menemukan cinta sejati (dang, it rhymes..). Selama Dinas/Kuliner ini, Aruna ga jalan sendirian. Layaknya pekerja kantoran di Ibukota, sebuah circle kecil merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan ditolak. Dan pada dasarnya, circle Aruna ini sedikit wah dibandingkan circle-circle basic kalian semuanya.

Bayangkan.

Lo adalah Aruna, seorang epidemiologist di perusahaan yang mumpuni dan memiliki selera makan yang tinggi. Lo juga punya temen namanya Bono yang adalah seorang chef dan mempunyai restoran yang sophisticated dan sering mengajak lo untuk nyobain makanan buatan dia yang notabene adalah mahal secara gratis gitu aja sob! Dan lo punya temen penulis guide dan kritikus makanan terkenal yang bahkan sudah melanglang buana ke negara mana gitu bernama Nad.

Menurut gue, ini adalah circle pertemanan yang sangat sehat dan juga baik bagi kesehatan. Karena ya berorientasi panganan tentu saja. Yang satu doyan makan, yang satu doyan masak, yang satu indra perasanya baik dalam mentukan makanan mana yang enak mana yang enggak.

Ok, jadi Aruna fix Kulineran/Dinas Luar Kota untuk meneliti suatu kasus Flu Burung dan sebagai seorang epide.... ok, sebagai seorang pakar wabah penyakit, adalah tugasnya untuk melakukan investigasi terkait hal ini. Dan cabutlah Aruna dan Bono ke spot pertama mereka - Surabaya. Disitu Nad akhirnya nyamperin mereka dan lengkaplah circle sehat bugar ini.

Namun tidak disangka tidak dinyana, datanglah ex-supervisor Aruna yang namanya Farish - yang notabene sudah pindah ke perusahaan lain - buat nemenin doski hanya karena perusahaan dialah yang meminta perusahaan Aruna buat melakukan investigasi ini.

Dan, mulailah perjalanan Kulineran/Dinas Luar Kota/Pencarian Cinta/Penyelesaian Konspirasi ini.

Mecin alias Penyedap


Menurut gue, secara umum ini adalah film cinta-cintaan. A girl and a guy, some way some how, it will happen

Namun yang menjadi nilai plus bagi gue adalah, bagaimana sang sutradara mengemas film cinta-cintaan ini tidak cheesy dan ketebak. Dari awal scene sampai dengan credit title nongol, walaupun sempat pesimis, namun hal tersebut tercerai berai dengan paparan wajah MBAK Dian Sastro tersebut. Oh dan tentunya alur ceritanya juga.

Banyak scene yang menurut gue random, kaya pas Nad dan Bono pengen balik ke arah Tunjungan Plaza tapi end up dugem di sebuah kapal pesiar dengan arak seadanya dan lagu sedangdut-dangdutnya. Atau berantemnya Aruna dan Farish diantara Barongsai (untung ga kesikut tuh pada bedua). Namun, ya, ke randoman itu akan menjadi tutupan biar cinta-cintaanya ga begitu kelihatan.

Dan tentu saja yang tidak kalah penting adalah SUPERCUT dari makanan-makanan yang menjadi khas di tempat mereka berada. Itu sumpah parah enak bener gue ngeliatnya. Jadi pengen makan right that moment. Ga usah lama-lama, film dibuka dengan Aruna memasak Sop Buntut yaNG DAGINGNYA AJA TINGGAL DI TOEL DIKIT LANGSUNG LEPAS DARI TULANGNYA. GIMANA GA PENGEN BOY!!

Dan in the end, adalah eksistensi MBAK Dian Sastro ini sendiri. Yang selama ini gue tau adalah, Dian Sastro adalah mbak-mbak yang sekarang sudah menjadi ibu-ibu yang menjadi idola di masa lalu dan juga masa kini. Apalagi dengan kemunculannya di film ini, gue yakin akan banyak karyawati-karyawati yang nantinya pas dapat surat dinas keluar kota, jadinya malah kulineran. Just want to be like Dian Sastro in this movie. Tapi gue gak memasalahkan itu.

Yang menjadi mecinnya adalah, kenapa di film ini, MBAK Dian terlihat sangat muda, dan kuyu, dan simple dan membuatku demen. Gue merasa melihat Dian Sastro di film ini, seperti melihat seorang wanita yang telah memasuki masa-masa kerja dimana rambut gerai adalah panas, rambut iket adalah point utama, baju blus Uniqlo adalah kunci jawaban dan makanan adalah ganjaran yang setimpal. Mata gue tidak lepas darinya, mulai dari bagaimana ia canggung, bagaimana dia jalan, dan tentu saja bagaimana ia pas melakukan breaking the fourth wall. Ini sih yang paling kampret. Hehehehe.. serasa mbak Dian tersenyum kepadaku.

DAN JANGAN LUPAKAN DIAN SASTRO DENGAN RAMBUT SEDIKIT BASAH KARENA HUJAN DAN KETAWA KETIWI ADALAH PEMANDANGAN YANG MELEGAKAN HATI!!!!11!!!!1

After Taste dari Sebuah Aruna


After all, Aruna dan Lidahnya ini, mampu memberikan gue pengalaman mengenai film cinta-cintaan Indonesia. Tidak semua film seperti itu akan menye. Buktinya dapat dilihat disini. Tidak gue lihat ada adegan tangis-tangisan. Tidak ada adegan yang overly dramatic. Tidak ada adegan yang dibuat sedemikian rupa sehingga kesannya magical atau coincidental. Semua terkesan natural. Semua terkesan riil. Seperti melihat sebuah dokumenter kuliner yang dibuat oleh sebuah karyawati sembari ia menceritakan perjalanan dinasnya beserta teman-temannya. Sebuah dokumenter yang ringan dan menggugah selera.

Hanya saja bagi gue ada sedikit mengganjal dimana masih ada terasa banget scene yang pake suara di dubbing lagi dan mana yang enggak. Mungkin ini karena faktor eksternal pas lagi shooting, tapi hal tersebut sangat sangat membuat adanya sesuatu yang signifikan. But it's an OK. I enjoyed it afterall.

Aruna dan Lidahnya pada akhirnya menjadi sebuah film yang ringan namun juga cantik, baik segi cerita dan juga cinematografi. Namun pada akhirnya tidak ada yang dapat menandingi tatapan mata Dian Sastro dan juga mohon bantuannya untuk dapat membantu gue melupakan bahwa Dian Sastro memiliki tahi lalat di bibir dalamnya.

Y U SO KYUT, MBAK DIAN???!!!!